pammieslife

Negara Dengan Tingkat Kelaparan Terparah di Dunia

Negara Dengan Tingkat Kelaparan Terparah di Dunia – Krisis pangan masih menjadi ancaman disejumlah negara. Akibatnya, banyak orang yang orang yang mengalami kelaparan dan gizi buruk.

Masalah krisis pangan, gizi buruk, dan kelaparan banyak dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Diantaranya masalah iklim di Negara tersebut. Alasan lain juga ada, misalnya karena adanya perang yang berkecamuk di Negara itu. judi bola

Masalah ini tentu mengkhawatirkan, pasalnya banyak jiwa yang telah tewas akibat permasalahan ini. PBB pun telah melakukan banyak usaha untuk masalah ini.

Berikut ini 5 negara dengan masalah kelaparan terbesar di dunia:

1. Republik Afrika Tengah

Republik Afrika Tengah (CAR) tetap berada di urutan teratas dalam daftar ini sebagai “negara paling lapar di dunia.”

Republik Afrika Tengah telah mengalami ketidakstabilan, kekerasan etnis dan konflik sejak 2012. Hal ini mengganggu produksi pangan dan menggusur lebih dari satu juta orang. Lebih dari separuh penduduk membutuhkan bantuan kemanusiaan. sbobet365

2. Chad

Di Chad, kekeringan terus-menerus terjadi dan kehadiran hujan yang sulit diprediksi. Hal semacam ini akhirnya menyebabkan petani gagal panen. Negara ini telah berjuang melawan krisis kelaparan selama bertahun-tahun. Sekitar sepertiga dari populasi mengalami kekurangan gizi kronis dan 40 persen anak di bawah lima tahun menjadi kerdil. Konflik di wilayah itu telah menyebabkan ratusan ribu pengungsi dari Nigeria, Republik Afrika Tengah, dan Sudan yang memasuki Chad. Kesemua pencari suaka itu pun membutuhkan bantuan makanan darurat. https://americandreamdrivein.com/

3. Yaman

Negara Dengan Tingkat Kelaparan Terparah di Dunia

Yaman berada dalam cengkeraman konflik brutal yang telah mendorong sebagian besar penduduk harus keluar dari negaranya. Perang saudara terus memicu krisis pangan. Sekitar 18 juta orang menghadapi kelaparan dan delapan juta orang berisiko kelaparan. Lebih dari 11 juta membutuhkan bantuan kemanusiaan hanya untuk bertahan hidup.

4. Sierra Leone

Sierra Leone adalah satu dari lima negara dengan tingkat kelaparan yang mengkhawatirkan. Meskipun stabilitas politik dan perdamaian relatif setelah perang saudara selama satu dekade, kemiskinan yang merajalela terus meninggalkan Sierra Leone ke bagian bawah Indeks Pembangunan Manusia.

Sierra Leone dihantam keras oleh Ebola beberapa tahun yang lalu, yang dengan cepat diikuti oleh kekurangan pangan yang meluas. Negara ini terus terkena dampak banjir dan tanah longsor, yang terakhir menewaskan ratusan orang.

5. Haiti

Negara Dengan Tingkat Kelaparan Terparah di Dunia

Haiti juga memiliki tingkat kelaparan tertinggi di dunia. Negara kepulauan ini telah menderita akibat ketidakstabilan politik dan bencana alam seperti badai, banjir, dan gempa bumi.

Lebih dari setengah populasi hidup dengan kurang dari US$ 2 per hari, dan degradasi lingkungan yang parah telah membatasi produksi pangan.

Seperempat abad terakhir sudah ada perbaikan luas pada kesehatan anak-anak yang lebih tua. Tapi “belum ada kemajuan serupa dalam mengakhiri kematian di kalangan anak-anak berusia kurang dari satu bulan,” kata Henrietta Fore, direktur eksekutif UNICEF.

“Mengingat bahwa sebagian besar kematian ini dapat dicegah, jelas kita telah gagal dalam kasus bayi termiskin di dunia,” kata Henrietta Fore.

Perbedaan antara negara miskin dan kaya sangat mencolok. Seorang bayi yang lahir di Pakistan – negara dengan tingkat kematian terburuk pada bayi yang baru lahir – menghadapi satu dari dua kemungkinan kematian, sementara bayi yang baru lahir di Jepang hanya memiliki resiko kematian satu dari 1.111, kata laporan UNICEF.

Dari 10 negara dengan risiko tertinggi, delapan negara berada di sub-Sahara Afrika, negara-negara di mana “perempuan hamil lebih kecil kemungkinannya untuk menerima bantuan,” karena kemiskinan, konflik atau institusi yang lemah, demikian menurut laporan tersebut.

Kedelapan negara itu adalah Republik Afrika Tengah (satu dari 24 kemungkinan kematian); Somalia, Lesotho, Guinea-Bissau dan Sudan Selatan (semua dengan satu di 26 kesempatan); Pantai Gading (satu di 27) dan Mali dan Chad (keduanya dengan satu dari 28 kesempatan).

Setiap tahun, sekitar 2,6 juta bayi tidak bertahan sampai satu bulan pertama mereka. Laporan UNICEF dirilis bersamaan dengan peluncuran kampanye global dengan motto Every Child Alive.

Lebih dari 80 persen kematian bayi yang baru lahir dapat dicegah, kata laporan tersebut, “dengan akses ke bidan yang terlatih, beserta solusi yang terbukti berhasil seperti air bersih, desinfektan, menyusui dalam waktu satu jam pertama, kontak dari kulit ke kulit dan nutrisi yang baik. “

Kekurangan tenaga kesehatan yang terlatih dengan baik juga bidan merupakan masalah utama di negara-negara miskin. Sementara negara kaya seperti Norwegia memiliki 18 dokter, perawat dan bidan untuk setiap 10.000 orang, Somalia yang miskin hanya memiliki satu orang.

Setiap tahun, satu juta bayi meninggal pada saat mereka dilahirkan. “Kami tahu bahwa kami dapat menyelamatkan sebagian besar bayi-bayi ini dengan solusi perawatan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau,” kata Fore.

Karena perbaikan perawatan kesehatan bisa mahal, “sangat penting untuk menginvestasikan uang dengan cara yang cerdas,” kata Willibald Zeck, kepala program UNICEF untuk persalinan dan bayi yang baru lahir kepada kantor berita AFP.

Fasilitas perlalatan mahal ini sangat penting. Willibald Zeck, yang bekerja sebagai dokter kandungan di Tanzania, mengatakan bahwa perempuan sering tidak yakin bagaimana situasi kehamilan mereka, dan dia harus menggunakan tangannya untuk memperkirakan apakah janin prematur atau berat badannya kurang.

Masalah pendidikan juga menentukan. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak memiliki pendidikan menghadapi hampir dua kali lipat resiko kematian dini daripada ibu yang memiliki setidaknya pendidikan menengah.

Negara dengan tingkat kematian bayi terendah setelah Jepang, sebagian besar adalah negara kaya dengan sistem pendidikan dan perawatan kesehatan yang baik: Islandia (satu dari 1.000 bayi meninggal), Singapura (satu dari 909), Finlandia (satu dari 833) , Estonia dan Slovenia (keduanya satu dari769), Siprus (satu dari 714) dan Belarus, Luksemburg, Norwegia dan Korea Selatan (semua dengan risiko satu dari 667), demikian laporan UNICEF.